Latest News

21 Aug 2010
"Not Just Music but a Cultural Movement" by Denny Sakrie
Tak Sekedar Musik Tapi Gerakan Kebudayaan.



Source: Dennysakrie63's Blog


Written by Denny Sakrie






Tengoklah hiruk pikuk industri musik negeri ini. Band band bersesakan dengan warna yang cenderung seragam. Amatlah sukar menerka jatidiri sebuah band. Lalu tiba-tiba muncullah sebuah band yang menampilkan sikap dan konsep yang berbeda. Sejatinya ketika semua orang berbaju hitam, dan muncul seseorang berbaju merah maka pastilah semua mata tertuju pada sosok yang berbusana beda. Mungkin demikianlah analogi yang tepat disematkan pada band baru bernama Montecristo. Sebuah band yang ikwalnya muncul karena dililit kegelisahan dalam menghasilkan karya-karya musik yang lebih tertata, terkonsep dan terpadu. Kegelisahan demi kegelisahan yang mereka temui inilah sebetulnya pangkal menguaknya kreativitas dalam bermusik.



Terbentuk pada tahun 2007 dan mulai memancangkan jatidiri sebagai Montecristo setahun berselang. Dimulai dengan ajakan Rustam Effendy pada Eric Martoyo dan Fadhil Indra untuk membentuk band. Ketiganya datang dari latar belakang yang berbeda. Rustam adalah seorang karyawan sebuah perusahaan multinasional, Eric adalah orang bisnis dan Fadhil Indra adalah pemusik yang memperkuat Discus, Makara dan KJP. Niat ngeband saat itu hanya sebatas ngejam belaka. ”Kami cuma ingin menghilangkan stress dgn ngeband”, kata Rustam. Baginya, bukanlah tidak ada masalah dengan skill bermain musik jika ingin melangkah menjadi musisi professional, namun dia merasa yakin dengan didukung perspektif bermusik rekan-rekan yang diajaknya, band yang diidamkan bisa terwujud.



Kemudian muncul Haposan Pangaribuan (bass), Alvin Anggakusuma (gitar) dan Keda Panjaitan (drum). Ketiga pemusik ini bisa dianggap sebagai pemberi warna modern dalam rhythm section Montecristo. Perpaduan antara musik rock klasik era 70-an dan rock era 90-an, menjelmalah konsep utuh Montecristo. Seperti apa sesungguhnya musik Montecristo? “Misi kami adalah menyampaikan pesan. Dan pesan ini akan lebih efektif jika melebur dalam alunan musik”, ungkap Eric Martoyo yang didapuk sebagai vokalis utama Montecristo.



Menurut Eric, dalam repertoar Montecristo lirik lagu adalah bagian yang sama pentingnya dengan tatanan musik. Jadi tak heran jika muatan lirik merupakan anasir yang mencolok dalam sajian musik Montecristo. Mereka dengan berani mengangkat tema-tema besar dalam lingkup sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan tanpa mesti harus mengeyampingkan tema romansa.”Sebagian besar lirik Montecristo justru diangkat dari true event,” imbuh Fadhil Indra. Konsep musik Montecristo, menurut Fadhil yang menjabat music director adalah hard rock dengan sentuhan rock progresif yang simfonik. Sub Genre yang terdekat yang dimainkan Montecristo adalah Symphonic Progressive,yang menuai pesona pada era 70-an silam.



Nama Montecristo sendiri diambil dari merk cerutu kegemaran Eric Martoyo.”Kami lalu sepakat memilih Montecristo sebagai nama band karena enak didengar, mudah dilafalkan dan yang penting mudah diingat” urai Eric Martoyo. Dari kacamata Fadhil sebagai music director, Montecristo dibangun diatas tatanan human senses para personilnya, mulai dari kekuatan instrumentalis maupun kekuatan dalam kesatuan band. Rasa bermusik itu dikembangkan secara natural agar sisi manusiawinya juga ikut terasa. Fadhil yang punya pengalaman bermain musik rock progresif di Discus dan Makara percaya bahwa senyawa yang baik antar personilnya akan menghasilkan sinergi yang optimal untuk menetaskan sebuah karya musik yang bisa dipertanggungjawabkan secara kualitas tanpa harus melalui rekayasa teknologi.



Menariknya, semua lagu dalam album Montecristo bertajuk “Celebration of Birth” ditulis dalam lirik berbahasa Inggris. Kenapa berbahasa Inggris? “Kami menganggap lirik adalah bagian penting untuk mencapai tujuan dan dengan lirik bahasa Inggris maka message dalam lagu-lagu Montecristo akan bisa menjangkau lebih banyak pendengar, tidak hanya orang Indonesia saja,” ujar Eric Martoyo yang paling banyak menulis lirik lagu Montecristo. Eric Martoyo adalah penggemar karya-karya sastra Khalil Gibran, Ernest Hemingway, WS Rendra hingga Pramoedya Ananta Toer. Demikian juga Rustam yang menyukai karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Fadhil sendiri selain jebolan IKJ, juga kuliah di Sastra Indonesia UNAS. Begitu pentingnya Montecristo menempatkan harkat penulisan lirik hingga dalam liner notes-nya sendiri tertera tagline Life is a never ending poem.



Pada akhirnya Montecristo tak hanya sekedar sebuah band penyaji musik saja melainkan sebuah gerakan kebudayaan. Ini ditegaskan lewat gaya bermusiknya yang menyempal dari arus besar (mainstream). Menurut Eric Martoyo: “Ini adalah sebuah stimulus bagi berkembangnya kebudayaan agar tidak seragam, sekaligus mengajak kita melihat keberagaman agar kebudayaan menjadi lebih kaya. Lirik-liriknya yang intelektual dan sarat kandungan filosofis merupakan wujud kepedulian Montecristo pada perkembangan sosial budaya.” Sebagai sebuah gerakan kebudayaan, Montecristo mengupayakan album “Celebration Birth” bisa diakses oleh siapa saja termasuk di mancanegara. Montecristo bahkan telah mengirimkan album perdananya ke perpustakaan Cornell University di Ithaca, New York dan Library of Congress di Washington DC dan telah masuk dalam catalog online mereka di http://lccn.loc.gov/2010436368. Album ini juga telah dikirim ke beberapa perpustakaan universitas di Australia yang memiliki studi tentang Indonesia.



1. Ancestral Land



Bertutur tentang seorang gadis keturunan Cina di Indonesia yg semangatnya ‘terbakar’ oleh propaganda pemerintah Cina pada saat itu. Pada tahun 1952 dengan menumpang sebuah kapal, dia pulang ke tanah leluhurnya. Namun tak lama berselang kondisi sosial-politik di Cina berubah secara drastis. Kelaparan melanda seantero negeri selama bertahun-tahun karena gagal panen berkepanjangan membuat rakyat Cina tidak ‘welcome’ terhadap para pendatang. Gadis ini kemudian dituduh sebagai spionase yg sengaja datang ke Cina untuk memata-matai negara itu. Sejak itu hidupnya berubah menjadi sebuah tragedi yg panjang. Musik yang dimainkan Montecristo terasa seperti music score yang mengikuti pola naratif. Piano dan orkestrasi mengimbuh suasana secara integral.



2. About Us



Ambience distorsi gitar menguak lagu yang diikuti bunyi piano. Sebuah perpaduan ragam rock 70-an dan 90-an yang ekspresif. Lagu ini memang ingin bertutur tentang keragaman latar belakang personil Montecristo. Beberapa tokoh tokoh besar masa lalu seperti Alexandre The Great, Mahatma Gandhi hingga Temujin memperkuat makna lirik yang ditulis Eric Martoyo. Terasa bagai sebuah epic tentang kedigdayaan sosok sosok manusia di dunia ini.



3. A Romance of Serendipity



Orkestrasi rock seperti yang pernah dibesut almarhum Michael Kamen seolah menyelusup dalam score lagu ini dengan sajian interlude bernuansa rock progresif. Liriknya bertutur tentang cinta yg tersia-siakan. Diawali oleh sebuah pertemuan yg kebetulan dan kemudian tumbuh menjadi cinta yg dalam. Si gadis akhirnya menghadapi kenyataan bahwa cintanya tidak mungkin bisa dipersatukan dan dia hanya menjadi “orang nomor dua” saja. Walaupun pahit, akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Pada pertemuan terakhir, tepat sebelum dia pergi, si gadis menolehkan muka untuk menengok kekasihnya untuk yg terakhir kali… lalu menghilang. Tema lagu ini seolah ingin menebalkan sebuah frasa bahwa kita baru akan menyadari seberapa besar cinta kita terhadap seseorang setelah kita kehilangan orang tersebut.



4. Garden of Hope



Lagu ini bertutur tentang negeri kita di era reformasi yang justru menjadi tambah tak tentu arah. Keputusasaan, pesimis dan hilangnya semangat hidup. Di sisi lain para politisi hanya menjual janji-janji belaka. Sebuah potret muram negeri kita yang hingga kini masih terpampang di depan mata kita semua. Di bagian introduksi berpadu bunyi perkusi dan piano. Harmoni choir-nya mengingatkan kita pada gaya klasik kelompok progresif Inggris; Yes.



5. Celebration of Birth



Sebuah gaya rock progresif era 70-an a la Kansas mencuat dalam aransemen lagu ini. Perpaduan gitar elektrik dan akustik menggelitik pendengaran kita untuk ingin menelusuri perihal tema lagu ini sebenarnya. Bertutur tentang dialog antara seorang ayah dengan anaknya yang baru saja lahir. Sebuah narasi humanis tersemburat di lagu ini. Bahwa sang ayah bercerita mengenai dunia yang indah dan damai di saat sang anak masih kecil ,tapi juga bisa berubah menjadi dunia yang lebih kompleks dan penuh intrik saat sang anak beranjak dewasa nanti. Sebuah lagu dengan lirik yang padat makna.



6. In Touch With You



Lagu ini ditulis oleh Fadhil Indra dengan memunculkan perpaduan piano akustik dan chamber musik pada bagian introduksinya. Sebuah romansa kasmaran yang menggelegak tapi terlarang. Gitaris Alvin Anggakusuma memperlihatkan karakter permainan yang memadai pada bagian interlude. Tak salah jika penikmat mengasosiasikan permainan gitar Angga pada gaya psychedelic blues Pink Floyd.



7. Crash



Mungkin ini merupakan lagu dengan tema yang jarang terfikirkan para penulis lirik yaitu tentang runtuhnya bursa saham di seluruh dunia. Kebetulan Eric sang penulis lirik adalah seorang investor saham dimana saat lagu ini ditulis nilai investasinya hanya tersisa 25% dari nilai semula. Lirik lagu ini pun mengutip pendapat pemenang Hadiah Nobel Ekonomi Amartya Kumar Sen: ”The only good reason to want wealth is because it produces freedom”. Tema besar ini didukung dengan apik oleh perpaduan sound keyboards progresif era 70-an dengan riffing gitar rock era 90-an.



8. Forbidden Song



Lirik lagu ini memang ingin bertutur tentang bersemainya rasa cinta tapi sayangnya dalam aura yang terlarang. Sebuah frasa yang bisa terjadi pada diri siapa saja. Simak liriknya: Don’t let the love turn to hate. If I’m right or if I am wrong It was just forbidden song. Nothing’s wrong. Musiknya sendiri seperti ingin mengangkat kembali supremasi hard rock 70-an.



9. Clean



Lagu ini ditulis oleh Fadhil Indra tentang sosok lelaki yang baru saja terbebas dari jerat narkotika. Orkestrasi melumuri beberapa bagian aransemen musiknya, mengingatkan kita pada nuansa ala Yes. Namun rhythm sectionnya justru terasa lebih masa kini terutama perpaduan antara bass dan drum yang ekspresif.



News List

21 Jan 2012
Montecristo in Suara Merdeka
read more
18 Dec 2011
ROCKLINGERS 2 @ Blok M Plaza
read more
10 Oct 2011
Konser Rock Progresif III Symphony (Musicforlife review)
read more
3 Oct 2011
Konser Rock Progresif III Symphony (review by Purwanto Setiadi)
read more
2 Oct 2011
Konser Rock Progresif III Symphony (review by KOMPAS.com)
read more
5 Sep 2011
Konser Rock Progresif III Symphony
read more
22 May 2011
ROCK APRESIASI 2011
read more
17 May 2011
Montecristo at Radio Sonora FM 92
read more
10 May 2011
"Garden Of Hope" courtesy of Arie Rachmawati
read more
<<  1  2  3  4  5  6  7  >>